Kisah Freeport di bumi Papua ini dimulai dari petualangan penjelajah
Belanda, Jean Jacques Dozy. Pada 1936 dia bergabung dengan perusahaan
minyak, Nederlandsch Nieuw Guinee Petroleum Maatschappij (NNGPM). Dozy
kemudian melakukan pendakian di gunung Papua untuk mencari ladang baru
eksplorasi minyak.
Penjelajahan Dozy dilakukan beberapa bulan
setelah New York Time menulis artikel Belanda tentang gunung tembaga
(Etsberg) di sepanjang pantai selatan Papua. Dozy kemudian menjelajah
Etsberg, dan melaporkan temuanya ke NNGPM, yang sekarang berubah menjadi
Exxon Mobil atau Chevron.
Namun laporan penemuan itu
terbengkalai di perpustakaan Belanda selama perang dunia ke II, dan
dilaporkan hingga berdebu. Maklum saat itu kondisi dunia tidak
mendukung, menjelang berkecamuknya Perang Dunia II yang melibatkan
banyak negara, termasuk Belanda.
Seperti tulis Lisa Pease,
wartawan Majalah Probe Amerika dengan judul artikel: "JFK, Indonesia,
CIA & Freeport Sulphur", edisi Maret-April 1996. Waktu itu
pertengahan 1959, revolusi mengatasnamakan rakyat berkecamuk di Kuba
dipimpin Fidel Castro. Fidel berhasil merebut Kota Havana hingga memaksa
rezim diktator Batista hengkang.
Kebijakan berubah paska Castro
berkuasa. Dia segera menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang
beroperasi di Kuba, termasuk Freeport Sulphur yang kala itu siap
mengapalkan biji nikel produksi perdana.
Pada Agustus 1959,
berlangsung pertemuan antara Forbes Wilson, direktur dan pakar ahli
pertambangan Freeport dengan Jan van Fruisen, Direktur Pelaksana East
Borneo Company. Dalam rapat itu, Jan van Fruisen bercerita kepada Wilson
isi buku Dozy ditemukan dalam kondisi berdebu. Wilson kemudian tertarik
dengan laporan Dozy soal gunung tembaga itu.
Wilson dan
rombongannya pada februari 1960 mengunjungi lokasi seperti ditulis Dozy.
Rombongan ekspedisi ini dibantu oleh suku setempat untuk menjelajahi
wilayah pegunungan itu. Hasil penelusuran dituangkan dalam buku
"Conquest of Copper Mountain". Persis Dozy, Wilson menuliskan
kekagumannya akan hamparan mineral tidak pernah dia lihat sebelumnya.
Saat
mencapai Erstberg, dia terperanjat dengan hamparan bijih tembaga di
atas permukaan tanah. Wilson menyebut wilayah itu sebagai tempat
terjadinya mineralisasi tidak lazim di atas ketinggian dua ribu meter
dari permukaan laut. Dia memperkirakan kandungan logamnya mencapai 40-50
persen bijih besi, tiga persen tembaga, dan masih terdapat emas dan
perak di dalamnya.
Dia melaporkan lewat kabel temuan itu kepada
Presiden Freeport Bob Hills di New York, Amerika Serikat. Dia menyebut
dari areal 14 hektar, hanya satu hektar tanpa bijih tembaga. Sedangkan
kedalaman baru mencapai seratus meter.
Setelah menganalisis
laporan Wilson, konsultan tambang Freeport memperkirakan akan mendapat
13 juta ton di atas permukaan dan 14 ton di bawah tanah dengan kedalaman
seratus meter. Perlu sekitar USD 60 juta dolar untuk mengeksplorasi
kawasan itu.
Ongkos produksi juga ditaksir mencapai USD 16 sen
per pon dan harga jual USD 35 sen saban pon. Dengan begitu, Freeport
menduga modal investasi akan balik dalam tiga tahun. Laporan ini kini
tersimpan di National Archieve, Washington DC, Amerika Serikat.
National
Archieve adalah lembaga independen menyimpan dokumen catatan sejarah
dan dokumen. Lembaga ini bertanggung jawab memelihara dan menerbitkan
salinan hukum asli dan otoritatif dikeluarkan oleh kongres, pernyataan
presiden dan perintah eksekutif, serta federal.
Pimpinan Freeport
begitu gembira dengan kemungkinan keuntungan bakal diperoleh. Namun,
saat proyek tambang akan dimulai, hubungan Belanda dan Indonesia kian
memanas memperebutkan Irian Barat. Akhir 1961, Presiden Soekarno
memerintahkan pendaratan pasukan di wilayah itu.
Freeport kian
jengkel dengan sikap Presiden John Fitgerald Kennedy karena lebih
memihak Indonesia. Belum lagi dengan sikap Amerika menghentikan bantuan
pemulihan ekonomi Eropa setelah Perang Dunia Kedua (rencana Marshal)
untuk Belanda. Freeport sebenarnya lebih cemas kepada Soekarno yang
gencar dengan prinsip nasionalisme dan antikolonialisme.
Perserikatan
Bangsa-Bangsa lalu turun tangan dan akhirnya memutuskan membentuk
pemerintahan transisi di Irian Barat. Kemudian diadakan Penentuan
Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969, untuk memutuskan apakah rakyat Papua
akan memilih bergabung dengan Indonesia atau Belanda.
Dalam
laporan Lisa, dua tahun sebelum Pepera, Freeport sudah mendapat Kontrak
Karya Pertama pada 50 April 1967. Perjanjian bisnis ini berlaku 30 tahun
dan bisa diperpanjang. Lisa juga menemukan Freeport melakukan berbagai
macam cara untuk mendapatkan izin dan perpanjangan kontrak karyanya.
Sejak
1967 hingga kini Freeport masih menggangsir bumi Papua, menambang emas,
perak, dan tembaga. Selama hampir setengah abad itu telah muncul
pelbagai masalah, terutama menyangkut jatah penerimaan negara karena
kurang optimal. Masalah lain ihwal minimnya peran negara, terutama Badan
Usaha Milik Negara, untuk ikut mengelola tambang dikuasai Freeport
McMoran di daerah Mimika, Papua, itu.
Rupa-rupa persoalan itu
mengakibatkan desakan terhadap pemerintah melakukan renegosiasi kontrak
karya agar lebih menguntungkan negara dan rakyat Papua. Menurut Direktur
Eksekutif Indonesian Resources Studies (Iress) Marwan Batubara,
Freeport merasa dirinya digdaya karena di bawah bendera Amerika Serikat.
Dia menjelaskan setelah Freeport McMoran menikmati keuntungan
besar, mereka seperti emoh membagi keuntungan lebih banyak dengan
pemerintah. Kontrak karya itu pertama kali ditandatangani pada 1967
berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan
Pertambangan.
Berikutnya pada 1991 kontrak karya kedua kembali
diteken dan berlaku 30 tahun mendatang, dengan opsi perpanjangan dua
kali, masing-masing 10 tahun. Pemerintah sempat meminta renegosiasi
kontrak karya itu. Sebab beleid baru tentang pertambangan sudah lahir,
yakni Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentan Minerba.
Namun
Freeport tidak mau mengubah kontrak sesuai akta itu. "Mereka mengancam
bakal memperkarakan ke pengadilan arbitrase internasional. Jadi
persoalannya lebih pada arogansi kekuasaan. Di sisi lain, pemimpin kita
pengecut," kata Marwan kepada merdeka.com beberapa waktu lalu.
Kisah Freeport di bumi Papua ini dimulai dari petualangan penjelajah Belanda, Jean Jacques Dozy. Pada 1936 dia bergabung dengan perusahaa...
Awal kisah Freeport menggangsir kekayaan Papua
About author: xx
Cress arugula peanut tigernut wattle seed kombu parsnip. Lotus root mung bean arugula tigernut horseradish endive yarrow gourd. Radicchio cress avocado garlic quandong collard greens.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments: